Timor Leste hari ini (Maret 2017) dan 28 tahun yang lalu (Tahun 1989) sebuah cerita masa lalu

Rute Perjalanan dari Dilli ke Betano seperti membelah Pulau Timor (bulatan hitam)

Break dari rutinitas kejenuhan kerja hari ini saya browsing dan download film via torrent rencananya buat koleksi hiburan saat hari raya Nyepi karena gak ada siaran TV. Sambil nunggu rampung donlotannya mari kita browsing tentang timor leste, kenapa Timor leste karena masa kecil saya yang penuh suka dan duka sebagian dihabiskan di wilayah ini.
Melihat kondisi terkini Timor leste dari disitus berbagi video Youtube dan beberapa media online tentunya tidak bisa dikatakan objektif tetapi beberapa informasi yang disajikan mungkin bisa mewakili keadaan sebenarnya. Banyak kemajuan terlihat di timor leste pacsa kemerdekaan terutama pembangunan yang sedang di gencarkan disegala bidang, dari beberapa media online terlihat banyak pembangunan gedung pemerintahan, sarana pendidikan, infrastruktur energy listrik serta penataan kota dilli. Intinya pemerintah timor leste dan jajarannya sedang dalam proses giat-giatnya berbenah memberikan kemakmuran untuk rakyatnya disegala bidang. Memang yang tidak banyak berubah adalah kondisi jalan raya penghubung antar kabupaten/distric yang masih kurang baik terutama jalur dilli ke arah Manufahi hingga Betano yang memang jalurnya berkelok-kelok memutari gunung menghindari lembah. Bahkan saking extremnya jalur Aileu-Maubisse-Ainaro-Manufahi oleh banyak driver tentara dan para driver umum pada medio tahun 90an menyebut jalur “Supermi” disebabkan kelokan jalannya yang mirip mie kriting serta jurang terjal dibawahnya. Terlepas dari hal tersebut rute jalan dari dili hingga masuk ke kabupaten/distric Manufahi adalah rute terindah menurut saya bahkan bunga Edelweis yang sering dinikmati keindahannya oleh para pendaki ketika mendaki gunung bisa dengan mudah anda temukan disisi jalan bukit tertinggi di Maubisse.
Saat saya libur sekolah SD atau SMP dan ada kesempatan berlibur ke dilli bersama orangtua merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu karena bisa melihat kota dilli dan membeli sesuatu yang tidak ada di kota Same tentunya. Selain itu perjalanan panjang dari Betano tempat orangtua saya ditugaskan hingga ke kota dilli yang memakan waktu 5 sampai 6 jam dengan jarak tempuh sekitar 150 Km membuat kita bisa melihat hijaunya bukit, air sungai mengalir bening, kokohnya gunung Cablaki, hewan ternak yang di lepas liarkan dan ramahnya penduduk sepanjang jalan serta pasar sayur-mayur di Maubisse. Mungkin perjalanan panjang itu akan terasa membosankan tetapi pemandangan indah kombinasi bukit, sungai,gunung dan udara dingin pegunungan membuat perjalanan dapat dinikmati dengan enjoy.

Membahas kenangan masa lalu sesuai judul tulisan ini saya mulai dari tempat tinggal saya komplek Badan Otorita Betano, Desa Betano kampung Bemetan dan Aidaklaran.
Komplek Badan Otorita letaknya agak ke tengah perkampungan diarea pertanian BPP Betano dikampung Aidaklaran sekitar 2 km dari jalan raya. Dari jalan raya kita masuk agak ke tengah melewati pemakaman dan bekas kampong Loro yang sudah kosong karena direlokasi kemudian terus mengikuti jalan beraspal sepanjang kebun jagung hingga tiba di area komplek Badan Otorita Betano terus ke Balai Penyuluhan Pertanian dan kampong Aidaklaran. Jalan ini sebenarnya melingkar tembus ke kampong Raifusa sampai ke jalan utama Betano ~ Same. Saat itu tugas Badan otorita adalah mengedukasi dan mensupport masyarakat di sektor pertanian, membuka sawah baru agar berimbas pada peningkatan produksi produk pertanian. Banyak alat pertanian disupport seperti traktor jenis besar masey ferguson, Kubota serta peralatan pertanian dan perbaikan saluran irigasi sungai Karau ulun.
Melintasi jembatan sungai  (mota) Karau Ulun menggunakan motor Trail dalam rangka pulang ke Betano

Desa Betano tempat tinggal saya ketika itu adalah sebuah desa pesisir dengan pantai berpasir hitam yang berombak besar (tasi mane “bahasa tetun”) banyak rawa yang masih ada buayanya dan tentunya banyak tempat mancing atau mencari udang (suru boek bahasa tetun). Icon desa Betano saat itu adalah monument Batalion Zeni Konstruksi di pinggir jalan tepi lapangan, lalu ada benteng portugis besar dan monument pendaratan marinir Surya Bhaskara Jaya. Berjalan kaki dari komplek Badan Otorita Betano atau numpang naik kuda bersama teman-teman pulang pergi untuk bersekolah di SD 6 Betano adalah rutinitas setiap hari. 
Bersama salah satu personel Batalyon Zikon 11 di monumen Batalyon Zeni Konstruksi di Tepi Pantai Betano 

Monumen pendaratan Marinir di tepi pantai Betano (mungkin sekarang sudah tidak ada lagi)

Pulang sekolah anak-anak biasa menghabiskan waktu dengan main bola, melempar mangga di pinggir jalan dan mandi di pantai.  Hari libur saya isi dengan menembak burung dara menggunakan senapan angin Canon caliber 4,5 bersama Om Jorge Rojales my best partner crew traktor Badan Otorita. Kegiatan menyenangkan lainnya adalah memancing di sungai, muara atau sesekali ikut tentara saat itu Yonif 512 dan diganti Yonif 641 menembak rusa di padang ilalang. Tahun 1990 saya sudah sering melihat dan memegang plus berlatih menggunakan senapan M16, SP dan Mauser, rasanya gagah maklum di Bali jangankan senapan laras penjang pistolpun jarang saya lihat. Dalam rangka menjalankan kegemaran saya memancing, disungai sekitar kampung Aidaklaran banyak udang size besar dan ikan yang bisa dipancing atau cukup menjala dengan alat tradisional pasti dapat lauk makan siang. Apabila ingin merasakan tarikan ikan besar, malam hari kita bisa mancing dipinggir pantai dari belakang mess tentara Batalion Zeni Konstruksi dengan target ikan kakap putih bahkan kerapu. Kalau masih belum puas ada Luis teman nelayan saya yang siap membawa kita mancing ke tengah mencari ikan giant travelly (mobara) atau anak tongkol dengan umpan buatan semacam bulu ayam.
Foto ini tahun 1990 bermain senapan M 16 dibelakang Pos Teritorial Batalion Infanteri 512 (Pos Boifu Kampung Raifusa)
Bersama Letnan satu Bonar Manurung Yonif 641 Beruang Hitam dan ajudan saat itu di Pantai Betano

Siang hari di Pantai Betano bersama personel Yonif 641 nyari lokasi nagkep ikan pake granat di muara kali

Pesta adat, pesta panen dan pesta dansa pernikahan adalah moment keramaian yang disukai anak kecil seumuran saya karena banyak makanan/minuman, ramai orang berkumpul serta tari tebe-tebe yang meramaikan suasana. Daging ayam, daging sapi, babi dan daging kerbau, nasi putih plus nasi jagung (batar daan) adalah menu yang umum disajikan. Suara music mengalun, para penikmat dansa bergoyang berpasangan malam semakin larut, music habis makanan habis saatnya pulang kembali.
Tahun 1992 saya meninggalkan SD Negeri 6 Betano dan pindah ke kota Same untuk melanjutkan pendidikan. Kota Same itu dingin seperti kampung saya di Bali sementara Betano adalah daerah pantai yang panas jadi suasananya kontras. Kota same terletak di ketinggian sehingga tata kotanya tidak menyebar  di area yang datar. Mulai dari desa Holarua hingga masuk kota Same jalannya naik turun hingga ke Letefoho dan Desa Babulu. Icon kota same saat itu mungkin patung pejuang (Raja Dom Boaventura) di perempatan kota dekat Bank Pembangunan Daerah dan SMP Katolik serta bangunan peninggalan portugis di ketinggian bukit yang dipakai sebagai kantor Bupati.
Monumen Dom Boaventura diperempatan kota same yang dulu sering saya lewati

Pindah ke lingkungan baru, ketemu teman baru, lingkungan baru dan suasana baru yang artinya menguji kemampuan adaptasi kita. Masa sekolah SMP saya isi dengan belajar dan banyak bermain bersama teman seumuran Yohanes Moa (saat ini di Maumere) Agustinus kame (saat ini di Maumere) dan Eka Sandi Yudha (kalo gak salah di Jawa), Yong Sung Ni (kata si Agus kame di Aussie), Neneng Komala Dewi dan Julia Dos Reis Magno. Tahun pertama saya tinggal di mess guru bersama Pak Ketut Widiasa guru bahasa Indonesia kenalan bapak saya kebetulan sama-sama dari Kabupaten Tabanan. Tahun kedua saya pindah ke asrama polres same disebelah kodim 1634 Manufahi tinggal bersama anggota polisi dari Bali kemudian di tahun terakhir pindah lagi ke mess pertanian bersama Pak Komang Budiarsa hingga tamat. Pada masa itu Pramuka saka Bhayangkara SMP Negeri 2 same adalah yang terbaik karena kita mewakili Kabupaten Manufahi ke Lomba Tingkat 4 (LT 4) ke kota Dilli tepatnya di Bumi Perkemahan Akanunu. Selain itu setiap lomba 17 Agustusan pada lomba gerak jalan antar SMP maka SMP 1 yang di Babulu dan SMPK harus rela jadi runner up karena juaranya pasti SMP Negeri 2 jadi buat alumni yang membaca tulisan ini bolehlah sedikit berbangga. Liburan sekolah masa SMP kebanyakan diisi dengan pulang kampung  ke Betano karena orangtua masih bertugas disana dan keliling kota same makan bakso di Mercado baru bersama Yohanes dan Agus.
Kenangan fisik yang masih ada adalah kain tenun khas Timor yaitu Tais bertuliskan nama lengkap saya yang dibuat oleh Ibu Gerry istrinya Om Jorge Rojales (asli kabupaten Lospalos) sebagai hadiah ketika saya pulang ke bali untuk melanjutkan SMA.

Sebuah Tais (kain tenun) kenang-kenangan dari Timor-Timur

Lomba LT 4 Pramuka di Bumi Perkemahan Akanunu Hera Dilli mewakili kabupaten Manufahi

Tulisan ini saya dedikasikan untuk mengenang teman-teman SD saya yang saya ingat akan saya sebut namanya; Francisco “lakdou”, Dominggus Pereira, Sando Noronha, Armandino da Andrade, Jaimito da costa, dan Orlando Noronha.
Teman main, memancing dan menembak burung dara; Luis Pereira, Om Jorge Rojales operator tractor dan Om Julio de Araujo staff BBP Betano yang sudah seperti keluarga saya sendiri plus guru saya Efransius Remy.
Teman SMP yang saya ingat Yohanes moa, Agustinus kame, Eka sandhy Yudha, Yus Ismanto, Norbertus ratrigis, Silvester usen Ola, Kanisius nesi, Julia dos reis magno, Minha Chung, Yong sung ni, Moises Tilman, Manuel dos santos, Jose dan Maria Da Costa dan satu yang saya ketemu di Internet Pak Polisi Agusto Tilman Da Costa.
Ternyata pak polisi ini salah satu teman smp saya yang sukses, salute my friend

Guru SMP yang saya Hormati; Pak Ketut Widhiasa (saat ini beliau Kepala SMP Negeri 2 Pupuan), Pak Gede Budiasa, Pak Supriyanto, Pak Didik, Pak Silvester,Pak Philipus Usen Ola dan Pak Aloysius F Seran (menurut google beliau guru di SMP N Malaka kabupaten TTU) Ibu Gurunya saya lupa.
Semoga sukses dan sehat selalu untuk semua nama yang saya sebut dan cerita ini hanya refleksi ketika kita berada pada waktu, tempat dan periode yang sama antara tahun 1989 hingga 1995.
Buat para tukang jalan, backpacker dan traveller saran saya silahkan coba dan kunjungi Timor Leste yang menurut saya sangat indah dan masyarakatnya ramah.Banyak destinasi alami gunung sungai dan pantai cantik yang bisa kalian jelajahi disana. Silahkan contact local agent, teman atau cari info lebih lanjut di Internet dan buktikan sendiri.                         

Beberapa sumber bacaan;
https://suara-timor-lorosae.com/central-edtl-hera-betano-gastu-boot-2/
*arsip foto lama kenangan SD, SMP semasa ikut orang tua bertugas di Bumi Lorosae

 


Comments

arievrahman said…
Wah seru banget ya kenangan masa kecilnya, sayang ayah saya tidak pernah ditugaskan ke daerah jadi belum sempat merasakan tinggal di luar Jawa.

Salam kenal mas :) saya ingin sih meng-eksplor Timor Leste lagi ke daerah Los Palos dan Mundo Perdido situ, namun masih terbentur dengan cuti kantor dan tiket ke sananya yang cukup mahal haha.
YANSENRICH said…
Astungkara bisa ke Timor Leste reuni Yud
Rakha RAY said…
Eh.. sy jg lulusan smpn2same lho .. tp th 1993 sy pulang ke Jawa. Sy tau temanmu Neneng bpk nya TNI AD kan.. anaknya mungil..asal Jabar..
You This said…
@unknown, iya saya tahun 1992 masuk smpn 2 Same artinya ada 1 tahun kita disekolah yang sama krn anda pulang ke jawa tahun 1993. Awal masuk smp saya tinggal di mess guru bersama Bpk Ketut Widiasa guru bahasa indonesia mungkin kita sering ketemu muka tetapi tidak kenal nama. Salam.

Popular posts from this blog

Menjelajah Pulau Moyo dan Air terjun Mata Jitu

Menggantung harapan di Pulau Satonda (sebuah catatan perjalanan)